30/11/2007

Allah Mengingatkan Kita

Masya Allah… Hari ini, ketika kita dikejutkan dengan ulah2 nakal yang mengecutkan hati, kita bertanya, 'dimanakah pertolongan Allah?'.

Ketika tudingan2 'miring' diarahkan kepada kita, segera saja kita bergegas kepada usaha pembelaan atas diri kita. Berbagai alasan diungkapkan untuk menutupi segala kelemahan kita. Hal ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang manusiawi, dalam artian bahwa kita punya banyak sekali poin2 kelemahan. Selanjutnya, kita menjadi sibuk dengan urusan2 yang sebenarnya merupakan urusan dan tanggung jawab Allah. Kita lupa bahwa Allah adalah sebaik-baik penjaga milik-Nya sendiri. Kita telah lupa, barangkali karena sebagian besar dari kita telah lalai dengan mengambil hak2 Allah dan mengabaikan kewajiban2 kita sendiri, baik sebagai hamba-Nya maupun sebagai khalifah-Nya.

Dengan tidak mengecilkan mereka yang sedang bekerja, sedang berusaha dan yang sedang membela ummat ini di semua front (dan sememangnya kita tidak layak untuk berbuat seperti itu), ada baiknya kita 'bercermin' kembali akan apa yang sudah kita buat pada masa2 yang telah lalu. Sejenak kita tengok ke belakang, langkah apa saja yang keliru hingga menjadikan 'wajah' kita seperti yang kita lihat di cermin pada hari ini. Dan dengan menengok kembali kepada langkah-langkah rasulullah dan para sahabatnya, kita akan menjadi tahu kesalahan dan kekeliruan kita. Dengan kesadaran ini, semoga apa saja yang belum kita buat, dapat kita kejar agar langkah2 kita selaras dengan mereka.

Adalah ketika para provokator meniupkan kebenciannya ke segala arah, rasulullah saw tetap istiqomah dengan usahanya. Ketika para provokator berusaha mengaitkan kesan bahwa rasulullah saw adalah gila, rasulullah tetap bergerak kepada setiap orang yang mungkin dijumpainya. Ketika para provokator sibuk dengan usaha mereka untuk memberi kesan negatif kepada kaum muslimin, beliau dengan dukungan para sahabatnya malah sibuk dengan dakwah kepada manusia sembari menyebarkan kebaikan. Namun demikian, ketika para provokator melancarkan hinaan, cacian, makian, hujatan dan berbagai bentuk penghinaan lainnya, banyak manusia malah mendapatkan bahwa rasulullah tidak seperti apa yang mereka provokasikan.

Rasulullah, se-olah2 tidak peduli dengan berbagai provokasi mereka untuk menjatuhkannya. Beliau seolah-olah mengabaikan usaha untuk menampik citra buruk yang dilekatkan oleh para provokator kepadanya. Mempedulikannya sama saja artinya dengan melepaskan kesempatan untuk merekrut mereka yang layak masuk dalam barisannya. Dan hebatnya, beliau tidak pernah kehilangan jalan tembus untuk mendapatkan manusia (pada saat manusia yang lain tidak melihatnya demikian) sama seperti halnya ketika beliau selalu mendapatkan jalan dan peluang untuk mendapatkan sahabat2 yang rela mendukungnya pada awal2 hari dakwahnya. Dia tidak peduli dengan batu2 keras, kerikil2 tajam, angin2 'nakal' dan debu2 yang mengganggu geraknya di atas jalanan. Beliau tidak peduli karena demikianlah ketentuan Allah yang memang harus dilaluinya.

Tujuannya jelas, bahwa beliau diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat buat mereka (termasuk para tokoh provokator), bahkan lil 'alamin, buat seluruh alam. Kesulitan untuk mencapainya tidak boleh menghalanginya untuk sampai pada tujuannya. Kesulitan beliau yang didapat dalam perjalanannya adalah karena belum sampainya kepahaman mereka sebagaimana yang beliau pahami. Harapannya adalah bahwa bila Allah swt tidak memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada mereka, tentu akan ada benih2 ketaatan dan penghambaan kepada Allah yang akan turun dari tulang sulbi mereka.

Dari sirah nabi-Nya, kita mendapatkan bahwa pertolongan Allah selalunya turun sesudah adanya berbagai proses kesusahan dan kesulitan sebagai dampak yang timbul dari dakwah atas manusia kepada-Nya. Besar dan kualitas pertolongan-Nya adalah sebanding dengan kadar mujahadah, keikhlasan dan penderitaan di dalamnya. Melalui 'hayatunnabiy' dan 'hayatushshahabah' kitapun menjadi tahu bahwa sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat kepada mereka yang ada di jalan-Nya.

Masalahnya adalah, ketika Allah mengingatkan kita, kita menjadi marah kepada-Nya. Ketika datang 'utusan2-Nya' kepada kita dan mereka mengingatkan agar kita kembali kepada-Nya, kita juga marah kepada mereka. Ketika datang kepada kita orang2 yang berusaha mengaitkan kita dengan
Masjid2-Nya, kita tidak pedulikan mereka. Ketika kita diingatkan untuk peduli dengan saudara2 kita, se-olah2 kita tidak punya waktu untuk itu, padahal kita masih selalu punya waktu selagi hayat masih dikandung badan. Ketika kawan kita sendiri meminta agar kita merapatkan barisan, kita malah 'mempermalukannya'.

Maka, sebelum hari yang 'mengerikan' itu datang, kita masih punya waktu untuk berbenah diri. Orang yang paling bijaksana adalah dia yang senantiasa mempersiapkan dirinya sedemikian rupa sehingga perjumpaannya dengan hari itu tidak akan menambah kecuali keuntungan saja. Dan sebelum hari itu datang, tetap akan datang hari2 lain yang sarat dengan ujian agar dapat diketahui-Nya siapa yang paling baik amalannya, padahal Dia maha mengetahui atas segala sesuatu.

Hanya mereka yang tetap sadar (tentang status mereka), yang akan menuai keuntungan dan memperoleh yang terbaik di sisi Allah atas segala suasana dan keadaan yang dikondisikan-Nya. Mereka sadar bahwa sebagai hamba-Nya, menunaikan hak2-Nya adalah prioritas utama sebagaimana kewajiban2 yang mesti ditunaikannya. Mereka sadar bahwa sebagai ummat nabi yang mencintai nabi-Nya, melanjutkan misinya (sembari berfikir, berbuat dan bekerja seperti nabi) adalah bagian utama dari menunaikan hak2 Allah sekaligus sebagai pengabdian yang paling luhur kepada-Nya.

Allah mengingatkan kita dengan 'ancaman' Amerika. Allah juga mengingatkan kita dengan peristiwa Bali dan yang sejenisnya. Maka, ketika Amerika menjadi 'marah' kepada kita, mestinya kita menyadari bahwa hal ini adalah salah satu hasil dari kelalaian kita. Kita telah lupa dengan apa yang harus kita tunaikan kepadanya. Kita melupakan hak2 Allah dengan memberikan hanya kepada para ulama kewajiban untuk menyampaikan kepada mereka apa saja yang datang dari-Nya. Bila mereka menjadi 'marah', maka kesalahan itu ada pada kita. Kita melupakan mereka sebagaimana kita melupakan orang2 keturunan China yang tinggal di sebelah rumah kita. Ironis sekali, mereka hidup berdampingan dengan kita (bahkan dalam bilangan puluhan tahun), akan tetapi mereka sama sekali tidak mengenal siapa sebenarnya robb mereka, sebaik yang kita tahu. Terus terang, kita belum (banyak) bicara kepada mereka mengenai hal ini. Malangnya, sebagian kita bahkan melupakan orang2 kita sendiri, bahkan di rumahnya sendiri, yakni dengan merasa puas menyimpan ayat2 Allah di hati sanubarinya tanpa suatu usaha untuk mencucurkannya kepada mereka.

Maka kitapun segera tahu bahwa ternyata kita belum menunaikan hak2 Allah. Kita belum menolong agama-Nya sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Kita belum menggunakan harta, masa dan diri kita untuk kepentingan-Nya. Bila uang 'milik' kita tidak kita gunakan untuk kepentingan-Nya, tentu dia akan digunakan untuk kepentingan selain-Nya. Bila uang kita digunakan untuk kepentingan selain-Nya, maka rugilah kita. Dan bila masa kita tidak digunakan untuk kepentingan-Nya, maka dia pasti akan berlalu juga. Dan bila masa kita digunakan untuk kepentingan selain-Nya, maka rugilah kita. Rugi, karena Dia tidak akan menurunkan bantuan-Nya kepada kita.

Sebagian dari kita sudah pergi ke Bali dan kita menghamburkan uang di sana untuk me-lihat2, mengaguminya dan membanggakanya kepada yang lain. Sebagiannya juga pergi ke Amerika atau tempat2 di belahan yang lain dari bumi ini. Boleh jadi mereka mengambil keuntungan dan mendapat 'nama baik' dari kunjungan ke sana, atau mungkin juga malah mendapat 'pola fikir' mereka yang tidak dapat memahami agama ini karena kebodohan dan kedengkian mereka. Kita lupa, bahwa di sana ada saudara2 kita yang sedang merindukan Allah sedangkan mereka tidak tahu caranya. Bilangan mereka tentu lebih banyak atau sama dengan yang duduk di dekat kita di sini. Kita belum menyampaikan kepada mereka apa yang kita tahu tentang agama ini. Maka, bila saja hal ini dapat kita lakukan, tentu kecintaanlah yang akan timbul sebagai balasan dari uang dan masa yang kita belanjakan bagi mereka.

Percayalah bahwa kita masih punya waktu untuk membasuh wajah kita yang 'kotor'. Kita masih punya waktu untuk memohon ampunan-Nya sembari berusaha untuk turut meninggikan kalimah-Nya sebelum matahari terbit dari Barat. Kita bergerak ke segenap arah hingga mereka berkeinginan seperti kita. Sungguh, kita tinggi karena memiliki agama-Nya. Bila kita miskin, hendaknya kemiskinan ini tidak menghalangi niat kita untuk menjumpai mereka, karena sesungguhnya Allah maha kaya lagi pula memiliki khasanah yang tak terbatas. Bila kita tidak menguasai bahasa mereka, sesungguhnya sahabat nabi, Saad bin Abi Waqash ra., telah sampai ke China (bahkan sampai dikuburkan di Canton) justru pada saat tidak ada satupun sekolah khusus atau tempat2 kursus bahasa di dunia ini. Allah memberi jalan2 hidayah kepada siapa saja yang mau bermujahadah dan bergerak di atas jalan-Nya. Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh, bersama kesulitan ada kemudahan.

Subhanallah. 

Tidak ada komentar:

Doa Jodoh

Alhamdulillah. Nabi Musa (as) berdoa, "Robbi innii limaa anzalta ilayya min khairin faqier." Artinya: Ya Tuhanku, sesungguhny...