Masya Allah… Hari ini, ketika kita dikejutkan dengan ulah2 nakal
yang mengecutkan hati, kita bertanya, 'dimanakah pertolongan Allah?'.
Ketika tudingan2 'miring' diarahkan kepada kita, segera saja kita
bergegas kepada usaha pembelaan atas diri kita. Berbagai alasan diungkapkan
untuk menutupi segala kelemahan kita. Hal ini dapat dikatakan sebagai sesuatu
yang manusiawi, dalam artian bahwa kita punya banyak sekali poin2 kelemahan.
Selanjutnya, kita menjadi sibuk dengan urusan2 yang sebenarnya merupakan urusan
dan tanggung jawab Allah. Kita lupa bahwa Allah adalah sebaik-baik penjaga
milik-Nya sendiri. Kita telah lupa, barangkali karena sebagian besar dari kita
telah lalai dengan mengambil hak2 Allah dan mengabaikan kewajiban2 kita
sendiri, baik sebagai hamba-Nya maupun sebagai khalifah-Nya.
Dengan tidak mengecilkan mereka yang sedang bekerja, sedang
berusaha dan yang sedang membela ummat ini di semua front (dan sememangnya kita
tidak layak untuk berbuat seperti itu), ada baiknya kita 'bercermin' kembali
akan apa yang sudah kita buat pada masa2 yang telah lalu. Sejenak kita tengok
ke belakang, langkah apa saja yang keliru hingga menjadikan 'wajah' kita
seperti yang kita lihat di cermin pada hari ini. Dan dengan menengok kembali
kepada langkah-langkah rasulullah dan para sahabatnya, kita akan menjadi tahu
kesalahan dan kekeliruan kita. Dengan kesadaran ini, semoga apa saja yang belum
kita buat, dapat kita kejar agar langkah2 kita selaras dengan mereka.
Adalah ketika para provokator meniupkan kebenciannya ke segala
arah, rasulullah saw tetap istiqomah dengan usahanya. Ketika para provokator
berusaha mengaitkan kesan bahwa rasulullah saw adalah gila, rasulullah tetap
bergerak kepada setiap orang yang mungkin dijumpainya. Ketika para provokator
sibuk dengan usaha mereka untuk memberi kesan negatif kepada kaum muslimin,
beliau dengan dukungan para sahabatnya malah sibuk dengan dakwah kepada manusia
sembari menyebarkan kebaikan. Namun demikian, ketika para provokator
melancarkan hinaan, cacian, makian, hujatan dan berbagai bentuk penghinaan
lainnya, banyak manusia malah mendapatkan bahwa rasulullah tidak seperti apa
yang mereka provokasikan.
Rasulullah, se-olah2 tidak peduli dengan berbagai provokasi mereka
untuk menjatuhkannya. Beliau seolah-olah mengabaikan usaha untuk menampik citra
buruk yang dilekatkan oleh para provokator kepadanya. Mempedulikannya sama saja
artinya dengan melepaskan kesempatan untuk merekrut mereka yang layak masuk
dalam barisannya. Dan hebatnya, beliau tidak pernah kehilangan jalan tembus
untuk mendapatkan manusia (pada saat manusia yang lain tidak melihatnya
demikian) sama seperti halnya ketika beliau selalu mendapatkan jalan dan
peluang untuk mendapatkan sahabat2 yang rela mendukungnya pada awal2 hari
dakwahnya. Dia tidak peduli dengan batu2 keras, kerikil2 tajam, angin2 'nakal'
dan debu2 yang mengganggu geraknya di atas jalanan. Beliau tidak peduli karena
demikianlah ketentuan Allah yang memang harus dilaluinya.
Tujuannya jelas, bahwa beliau diutus kepada seluruh manusia untuk
menjadi rahmat buat mereka (termasuk para tokoh provokator), bahkan lil
'alamin, buat seluruh alam. Kesulitan untuk mencapainya tidak boleh
menghalanginya untuk sampai pada tujuannya. Kesulitan beliau yang didapat dalam
perjalanannya adalah karena belum sampainya kepahaman mereka sebagaimana yang
beliau pahami. Harapannya adalah bahwa bila Allah swt tidak memberikan taufik
dan hidayah-Nya kepada mereka, tentu akan ada benih2 ketaatan dan penghambaan
kepada Allah yang akan turun dari tulang sulbi mereka.
Dari sirah nabi-Nya, kita mendapatkan bahwa pertolongan Allah
selalunya turun sesudah adanya berbagai proses kesusahan dan kesulitan sebagai
dampak yang timbul dari dakwah atas manusia kepada-Nya. Besar dan kualitas
pertolongan-Nya adalah sebanding dengan kadar mujahadah, keikhlasan dan
penderitaan di dalamnya. Melalui 'hayatunnabiy' dan 'hayatushshahabah' kitapun
menjadi tahu bahwa sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat kepada mereka
yang ada di jalan-Nya.
Masalahnya adalah, ketika Allah mengingatkan kita, kita menjadi
marah kepada-Nya. Ketika datang 'utusan2-Nya' kepada kita dan mereka
mengingatkan agar kita kembali kepada-Nya, kita juga marah kepada mereka.
Ketika datang kepada kita orang2 yang berusaha mengaitkan kita dengan
Masjid2-Nya, kita tidak pedulikan mereka. Ketika kita diingatkan
untuk peduli dengan saudara2 kita, se-olah2 kita tidak punya waktu untuk itu,
padahal kita masih selalu punya waktu selagi hayat masih dikandung badan.
Ketika kawan kita sendiri meminta agar kita merapatkan barisan, kita malah
'mempermalukannya'.
Maka, sebelum hari yang 'mengerikan' itu datang, kita masih punya
waktu untuk berbenah diri. Orang yang paling bijaksana adalah dia yang
senantiasa mempersiapkan dirinya sedemikian rupa sehingga perjumpaannya dengan
hari itu tidak akan menambah kecuali keuntungan saja. Dan sebelum hari itu
datang, tetap akan datang hari2 lain yang sarat dengan ujian agar dapat
diketahui-Nya siapa yang paling baik amalannya, padahal Dia maha mengetahui
atas segala sesuatu.
Hanya mereka yang tetap sadar (tentang status mereka), yang akan
menuai keuntungan dan memperoleh yang terbaik di sisi Allah atas segala suasana
dan keadaan yang dikondisikan-Nya. Mereka sadar bahwa sebagai hamba-Nya, menunaikan
hak2-Nya adalah prioritas utama sebagaimana kewajiban2 yang mesti
ditunaikannya. Mereka sadar bahwa sebagai ummat nabi yang mencintai nabi-Nya,
melanjutkan misinya (sembari berfikir, berbuat dan bekerja seperti nabi) adalah
bagian utama dari menunaikan hak2 Allah sekaligus sebagai pengabdian yang
paling luhur kepada-Nya.
Allah mengingatkan kita dengan 'ancaman' Amerika. Allah juga
mengingatkan kita dengan peristiwa Bali dan
yang sejenisnya. Maka, ketika Amerika menjadi 'marah' kepada kita, mestinya
kita menyadari bahwa hal ini adalah salah satu hasil dari kelalaian kita. Kita
telah lupa dengan apa yang harus kita tunaikan kepadanya. Kita melupakan hak2
Allah dengan memberikan hanya kepada para ulama kewajiban untuk menyampaikan
kepada mereka apa saja yang datang dari-Nya. Bila mereka menjadi 'marah', maka
kesalahan itu ada pada kita. Kita melupakan mereka sebagaimana kita melupakan
orang2 keturunan China
yang tinggal di sebelah rumah kita. Ironis sekali, mereka hidup berdampingan
dengan kita (bahkan dalam bilangan puluhan tahun), akan tetapi mereka sama
sekali tidak mengenal siapa sebenarnya robb mereka, sebaik yang kita tahu.
Terus terang, kita belum (banyak) bicara kepada mereka mengenai hal ini.
Malangnya, sebagian kita bahkan melupakan orang2 kita sendiri, bahkan di
rumahnya sendiri, yakni dengan merasa puas menyimpan ayat2 Allah di hati
sanubarinya tanpa suatu usaha untuk mencucurkannya kepada mereka.
Maka kitapun segera tahu bahwa ternyata kita belum menunaikan hak2
Allah. Kita belum menolong agama-Nya sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Kita
belum menggunakan harta, masa dan diri kita untuk kepentingan-Nya. Bila uang
'milik' kita tidak kita gunakan untuk kepentingan-Nya, tentu dia akan digunakan
untuk kepentingan selain-Nya. Bila uang kita digunakan untuk kepentingan
selain-Nya, maka rugilah kita. Dan bila masa kita tidak digunakan untuk
kepentingan-Nya, maka dia pasti akan berlalu juga. Dan bila masa kita digunakan
untuk kepentingan selain-Nya, maka rugilah kita. Rugi, karena Dia tidak akan
menurunkan bantuan-Nya kepada kita.
Sebagian dari kita sudah pergi ke Bali dan kita menghamburkan uang
di sana untuk
me-lihat2, mengaguminya dan membanggakanya kepada yang lain. Sebagiannya juga
pergi ke Amerika atau tempat2 di belahan yang lain dari bumi ini. Boleh jadi
mereka mengambil keuntungan dan mendapat 'nama baik' dari kunjungan ke sana , atau mungkin juga
malah mendapat 'pola fikir' mereka yang tidak dapat memahami agama ini karena
kebodohan dan kedengkian mereka. Kita lupa, bahwa di sana ada saudara2 kita yang sedang merindukan
Allah sedangkan mereka tidak tahu caranya. Bilangan mereka tentu lebih banyak
atau sama dengan yang duduk di dekat kita di sini. Kita belum menyampaikan
kepada mereka apa yang kita tahu tentang agama ini. Maka, bila saja hal ini dapat
kita lakukan, tentu kecintaanlah yang akan timbul sebagai balasan dari uang dan
masa yang kita belanjakan bagi mereka.
Percayalah bahwa kita masih punya waktu untuk membasuh wajah kita
yang 'kotor'. Kita masih punya waktu untuk memohon ampunan-Nya sembari berusaha
untuk turut meninggikan kalimah-Nya sebelum matahari terbit dari Barat. Kita
bergerak ke segenap arah hingga mereka berkeinginan seperti kita. Sungguh, kita
tinggi karena memiliki agama-Nya. Bila kita miskin, hendaknya kemiskinan ini
tidak menghalangi niat kita untuk menjumpai mereka, karena sesungguhnya Allah
maha kaya lagi pula memiliki khasanah yang tak terbatas. Bila kita tidak
menguasai bahasa mereka, sesungguhnya sahabat nabi, Saad bin Abi Waqash ra.,
telah sampai ke China
(bahkan sampai dikuburkan di Canton )
justru pada saat tidak ada satupun sekolah khusus atau tempat2 kursus bahasa di
dunia ini. Allah memberi jalan2 hidayah kepada siapa saja yang mau bermujahadah
dan bergerak di atas jalan-Nya. Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan. Sungguh, bersama kesulitan ada kemudahan.
Subhanallah.
*