20/10/2008

Masjid Kita

Banyaknya masalah yang tidak bisa kita rampungkan hingga hari ini adalah karena kita tidak lagi berhubungan dengan masjid (dekat rumah) kita. Masalah-masalah di pemerintahan, masalah-masalah di lingkungan kita hingga masalah-masalah yang muncul di rumah tangga kita adalah karena kita tidak lagi punya hubungan dengan masjid. Adapun mereka yang datang ke masjid, sebagian besar darinya terbatas pada keinginan untuk meramaikannya, padahal meramaikan tidak sama dengan memakmurkannya. Masalah-masalah muncul justru karena kita melepaskan diri dari tempat yang tidak seorangpun masuk ke dalamnya kecuali dia akan keluar dengan memperoleh rahmat dari Allah swt.

Bila seseorang yang kita sayangi jatuh sakit, biasanya kita akan membawanya ke rumah sakit. Keyakinan kita sedemikian rupa sehingga kita menaruh harapan besar pada rumah sakit atas kesembuhan orang yang kita hantar ke sana. Kita akan menjadi bingung (atau mungkin juga marah) manakala tempat yang dikatakan rumah sakit tersebut tidak memiliki perawat atau ada perawat tetapi tidak peduli terhadap pasien atau bahkan tidak ada seorangpun dokter di sana. Orang2 yang datang ke masjid, sebagian dari mereka adalah orang2 yang memerlukan perawatan khusus. Bila orang2 yang ‘sakit’ datang ke masjid, sedangkan di sana tidak ada seorangpun yang peduli dengannya, maka hilanglah harapan kesembuhan baginya.

Bila orang2 yang kacau hatinya datang ke masjid lalu orang2 yang ‘baik’ tidak punya masa untuk mereka, lalu siapakah yang bertanggung jawab bila mereka menjadi lebih kacau lagi? Bila seseorang datang ke masjid dan keinginannya adalah menenangkan dirinya yang teraniaya, sedangkan di masjid tidak ada majelis2 yang dapat merangkumnya, lalu dia berdoa kepada Tuhannya agar dihilangkan saja bangunan yang tak berguna tersebut, niscaya tidak seorangpun yang dapat menentang keputusan Allah atasnya.

Bencana atas kita, bila hal itu terjadi, tidaklah disebabkan oleh kesalahan orang lain. Bencana yang datang juga tidak muncul karena ulah para penjahat. Kehancuran dan segala bentuk kegagalan sebenarnya justru berasal dari kelalaian kita sendiri. Banyak keadaan dimana terdapat kaitan yang erat antara hasil dan usaha, baik yang dilakukan secara infiradi (individu) ataupun secara ijtima’i (bersama).

Maka usaha kita adalah ‘memaksa’ diri kita sendiri untuk mencintai masjid. Akan tetapi cinta itu baru akan datang bila kita mengenalnya dengan baik. Dan kita tidak akan mengenalnya dengan baik hingga kita sering berhubungan dengannya. Dan kita akan sering berhubungan dengannya bila kita dapat memenuhi ‘mimimum requirementnya'. Dan sholat lima waktu di masjid (bagi lelaki) adalah batasan minimum dalam urusan ini.

Hari ini sebagian besar dari kita sudah ‘terpaku’ di tempat kerja. Kita tidak dapat bergerak ulang-alik secara mudah ke masjid kita. Bila kita kerja di siang hari, kita tidak dapat hadir di masjid kita minimal untuk 2 kali waktu sholat. Bila kita kerja shif malam, barangkali 2 atau 3 kali kita tidak dapat hadir di sana. Maka cinta itupun memudar sejalan dengan kuantitas ketidakhadiran kita di masjid.

Maka orang2 yang memaksakan diri untuk berdiam diri di rumah2 Allah, padahal mereka adalah orang2 yang sibuk, niscaya Allah sendiri yang akan memperhatikan mereka. Mereka akan masuk dalam daftar undangan rutin Sang pemilik rumah. Dan bila Dia mengundang kita untuk hadir di rumah-Nya, maka tidak hanya kekuatan langkah kaki yang Dia berikan, akan tetapi Dia juga berikan cinta untuk menghidupkan rumah-Nya. Kita mengetahui bahwa tuan rumah hanya mengundang orang2 yang dikenal dan yang disukainya saja untuk masuk ke dalam rumahnya.

Subhanallah
*

10/10/2008

Salah Sangka

Subhanallah. Ketika Allah mengumpulkan kita di salah satu dari rumah2-Nya yang ada di bumi, kita merasa bahwa kita adalah orang2 yang dipersaudarakan-Nya. Dan ketika kita tinggal di rumah-Nya lebih dari sekedar untuk keperluan sholat dan tilawah Qur’an, ternyata di sana Allah membukakan mata hati kita. Betapa rumah2-Nya menyimpan banyak keindahan dan kebaikan, sebanyak cinta yang kita tanam di sana.

Ketika kita tinggal di rumah2-Nya untuk jangka waktu tertentu, kita dapati bahwa kita adalah musafir. Kita sedang dalam perjalanan sebagaimana gerak kita dari satu masjid ke masjid yang lain. Kita menjadi sadar bahwa kita adalah hamba2-Nya yang miskin sedangkan Allah maha kaya dan memiliki khasanah yang tak terbatas. Tidak diberi-Nya kita tempat berteduh kecuali sebagaimana yang Dia kehendaki.

Kita juga menyadari bahwa kita adalah orang2 yang beruntung yang digunakan-Nya untuk meninggikan kalimah-Nya, padahal Dia mampu untuk meninggikan sendiri kalimah-Nya. Dia maha tinggi sehingga segala sesuatu yang terhubung dengan-Nya menjadi tinggi. Bila seseorang terlibat dengan kerja yang Allah suka, maka yang demikian adalah tanda bahwa Dia sedang meninggikan kedudukannya di sisi-Nya.

Kita sudah melihat kebaikan2 itu. Kita sudah merasakan kebenaran ada di sana. Kita sudah menyaksikan betapa banyak orang yang mendapat manfaat iman dari gerak sebagaimana yang kita lakukan. Kita menangis bahkan dalam sholat sebagaimana para salafus shaleh melakukannya. Kita menahan malu untuk mendatangi setiap orang dan membawa mereka kepada Allah sebagaimana da’i2 generasi awal melakukannya. Kita amalkan sunnah dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kita selalu mencoba untuk belajar berakhlak sebagaimana suri teladan kita. Lebih dari itu semua, kita sering saling mengingatkan bahwa kerisauan kita adalah keselamatan ummat, sama seperti kerisauan Rasulullah saw.

Lalu, kenapa masih saja ada orang2 yang salah memandang kita? Orang2 miskin menyangka bahwa kita adalah orang2 kaya, karena hanya orang2 kaya yang memiliki uang lebih untuk biaya keluar di jalan Allah. Akan tetapi orang2 kaya menyangka bahwa kita adalah orang2 miskin, karena hanya orang2 miskin yang tidak perlu cari uang (banyak2), karena itu mereka dapat keluar di jalan-Nya.

Adalah orang2 awam menyangka bahwa kita adalah orang2 ‘alim, karena hanya orang2 ‘alim yang punya bekal untuk menyampaikan agama. Akan tetapi orang2 ‘alim menyangka bahwa kita adalah orang2 awam, karena hanya orang2 awam yang perlu belajar agama, karena itu mereka keluar di jalan-Nya.

Adapun orang2 yang menganggap amalan nenek moyang mereka adalah luhur menyangka bahwa kita adalah orang2 ahli sunnah, karena hanya orang2 yang ahli yang dapat mempraktekkan sunnah2 Rasulullah. Akan tetapi orang2 yang menganggap semua amalan mereka berasal dari sunnah nabi menyangka bahwa kita adalah ahli bid’ah, karena mereka tidak menemukan ‘dalil yang hilang’ untuk keluar di jalan-Nya, padahal kita menemukannya justru pada saat kita mengamalkannya. 

Sungguh, urusan ini ada di tangan Allah. Dialah yang lebih mengetahui bagaimana meninggikan kalimah-Nya sendiri. Dialah yang tahu secara pasti cara terbaik untuk menyiarkan agama-Nya. Dia mengetahui setiap detil dari rencana2 besar yang dirahasiakan-Nya sendiri. Untuk itu, tidak ada gunanya kita berkelahi. Kita tidak ingin bertarung dengan sesama kita. Kita mesti saling dukung untuk menyenangkan-Nya saja.

Subhanallah. 

Doa Jodoh

Alhamdulillah. Nabi Musa (as) berdoa, "Robbi innii limaa anzalta ilayya min khairin faqier." Artinya: Ya Tuhanku, sesungguhny...