Subhanallah. Bila kita merasa puas dengan apa yang sudah kita
dapatkan berupa kedudukan, fasilitas dan keuangan, lalu kita menjadi terikat
dengannya, maka saudara2 kita yang sering kita pandang hina (karena tidak
setinggi kita), sebenarnya lebih baik daripada kita. Mereka mempunyai banyak
waktu, sedangkan kita ‘tidak punya’ waktu. Malangnya, kita menolak untuk
dikategorikan sebagai orang yang miskin.
Kebanyakan manusia selalu mengejar apa yang paling mahal harganya.
Tahukah kita berapa besar nilai silaturahmi? Sejujurnya, kita tidak
mengetahuinya, karena itu kita mengabaikannya. Malangnya, kita menolak
dikatakan bodoh. Sudah nyata bahwa kita tidak tahu nilai silaturrahmi dan
kitapun tidak melakukannya karena ‘tak ada waktu’, akan tetapi kita menolak
untuk dikatakan orang miskin bodoh.
Kita mengetahui bahwa orang2 muslim dimana saja berada adalah
saudara2 kita. Mereka adalah orang2 yang akan Allah tanyakan perihalnya ketika
kita masuk kubur. Atas pertanyaan siapa saudara2-mu, maka amal silaturrahmilah
yang akan menjawabnya. Maka beruntunglah mereka yang menjaga silaturrahmi
dengan saudara2-nya, baik yang dikenal ataupun tidak, di negerinya atau di
negeri2 lain. Bukti2 silaturrahmi senantiasa tercatat dan terpelihara (dengan
cara yang karena kebodohan kita, kita belum mengetahuinya). Namun demikian,
hanya silaturrahmi yang bersih dari maksud dunia dan yang tercatat atas dasar
untuk menyenangkan Allah saja yang akan bernilai di sisi-Nya.
Kepada saudara2 kita yang sudah kita kenal, barangkali kita sering
mengunjunginya. Lalu bagaimana dengan saudara2 kita yang jauh, yang tinggal di
ujung2 dunia? Apakah mereka tidak layak untuk dikunjungi? Sebagai saudara kita,
apakah hak mereka tidak layak untuk dipenuhi? Apabila kita tidak mendatangi
mereka, lalu bagaimana pula kita boleh saling menasehati? Dan bagaimana pula
kita boleh saling berkasih sayang? Bukankah pepatah orang tua mengatakan bahwa
tak kenal maka tak sayang?
Di banyak kawasan, bahkan di negeri kita, banyak muslim yang belum
lagi fasih mengucapkan Laa ilaaha illallah, bahkan sebagiannya sulit
mengucapkan lafadz Allah. Bila mereka sulit mengatakan kalimah2 utama yang
paling sering diucapkan oleh seorang muslim, kira2 bagaimanakah dengan kalimah2
yang lain? Bagaimana pula dengan bacaan2 sholat? Bagaimana pula halnya dengan
tilawah Al-Qur’an?
Beberapa saudara2 muslim dari Philipina telah mengatakan kepada
saya, bahwa mereka telah berjumpa dengan orang2 muslim di beberapa pulau di
perairan Indonesia
yang letaknya dekat dengan negerinya. Katanya, mereka mengaku muslim, bahkan
ada yang memiliki kalung dengan tulisan Allah, tetapi mereka tidak dapat
menyebut lafazd Allah.
Ini kenyataan. Lalu, siapa yang bersedia datang ke sana ? Kualitas kita akan
segera nampak dari jawaban2 kita. Kita mengelak dengan alasan bahwa kita bukan
‘jebolan’ pondok-pesantren. Kita menolaknya dengan cara menyerahkan tugas ini
kepada para ulama. Kita berdalih bahwa kita terikat dengan pekerjaan. Kita
katakan bahwa keluarga kita pun masih memerlukan bimbingan. Selanjutnya kita
keluarkan dalil2 untuk membenarkan ‘keuzuran’ kita. Dan inilah potret kualitas
kita.
Tidak ada paksaan dalam urusan ini. Mereka bebas untuk menentukan
bentuk akhir hidup mereka sendiri: Apakah dapat mengucapkan kalimah2 Allah
(sebagaimana dia sampaikan dalam masa hidupnya) atau tidak; Apakah kelak
dikasihi oleh seluruh makhluk atau hanya ditangisi keluarganya.
Mereka juga bebas untuk menentukan bentuk kepemilikannya di
akhirat: Apakah suka berdiam di tempat (semisal disiksa di neraka) atau bergerak
terus (di surga yang luas tak terkira) lebih daripada sebagaimana dia melakukan
silaturrahmi ke pelosok2 dunia selama hidupnya di dunia.
Subhanallah.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar